Selasa, 18 November 2008

Falsafah Ibadah Haji

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima dan difardhukan bagi setiap muslim yang mampu; baik dalam bentuk kesanggupan kesehatan fisik, ekonomi, tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan, hingga keamanan dalam perjalanan. Seperti ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji juga mengandung hikmah atau nilai-nilai falsafah yang sarat makna bagi setiap hamba yang melaksanakannya. Dengan begitu, ibadah haji tidak sekedar ibadah ritual, tetapi nilai-nilai falsafah yang ada di dalamnya patut direnungkan sehingga berpengaruh terhadap perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Mengenai makna atau falsafah ibadah haji, telah dibahas oleh beberapa pemikir atau ulama terdahulu. Salah satu di antaranya adalah Ali Syari’ati yang tertulis dalam karyanya ”Haji”. Dalam karya ini, ia menyingkap simbol-simbol yang terdapat dalam rangkaian ibadah haji dengan mengungkap nilai-nilai moral yang dikandungnya. Berikut akan diuraikan beberapa pokok pikiran Ali Syari’ati tersebut.

Pakaian Ihram

Ketika jamaah haji sampai di Miqat, mereka mengenakan pakaian lhram, dengan kaki telanjang tanpa terkecuali. Pakaian ini warnanya putih, tidak berjahit dan bahan dasar kainnya pun sangat sederhana. Meskipun di antara mereka kaya raya, tidak diperkenankan memakai pakaian sutra. Perintah ini mengingatkan akan eksistensi manusia yang tidak memeliki apa-apa. Kelak manusia mati untuk menghadap Tuhannya, tidak membawa harta apa pun, hanya sehelai kain kafan yang berwarna putih, tanpa alas kaki. Putihnya pakaian ihram melambangkan kesucian dan kesederhanaan. Ketika pakaian ini dipakai, buangkan segala sifat kesombongan, keangkuhan, egosime, dan segala penyakit hati yang merusak.

Pakaian adalah lambang perbe­daan. Sebab perbedaan seseorang sering di lihat dari pakaiannya. Ketika muncul perbedaan, kerap kali mengun­dang perpecahan. Sementara perpecahan awal dari kehancuran sebuah peradaban. Terbukti, dalam pentas sejarah dunia, runtuhnya peradaban berawal dari perpecahan yang terjadi di antara orang-orang yang membangun peradaban tersebut. Maka pakaian ihram menghapus segala lambang perbedaan yang merusak persaudaraan, mengurai persatuan dan kesatuan itu. Perbedaan secara fisik memang alami, tidak bisa dihilangkan, tetapi tidak untuk merusak kebersamaan dan persaudaraan.

Thawaf dan Ka'bah

Salah satu rukun haji yang terpenting adalah thawaf. Thawaf adalah mengelilingi ka'bah sebanyak tujuh kali. Ka'bah menjadi inti dari perputaran tersebut. Ka'bah merupakan kiblat seluruh umat Islam diseluruh penjuru dunia. Apa istimewanya ka'bah? Sepintas, tidak ada keis­timewaannya. la hanya berbentuk kubus yang memiliki enam sisi dan kosong yang tersusun dari batu-batu hitam dari Ajun (bukit-bukit di dekat kota Mekkah). Tidak terdapat nilai arsitektur, seperti lukisan, ukiran dan sebagainya.

Namun jika ka'bah direnungkan, enam sisi yang ada merupakan lambang Islam itu universal. Sebab, enam sisi ka'bah menghadap ke segala arah. Kemudian ka'bah melambangkan ketetapan (konstan), sebab dia hanya diam. Sementara manusialah yang bergerak (aktif) mengitari ka'bah. Ka'bah ibarat Matahari, manusia ibarat planet yang mengitari matahari tersebut. Itu artinya, Allah-lah pusat eksistensi yang merupakan titik fokus dari dunia yang fana ini. Sementara manusia mesti bergerak, beraktivitas, berbuat dan bersikap mesti berpusat kepada kehendak-Nya. Apapun perbuatan dan gerak manusia hanya untuk-Nya, tidak boleh bertentang dengan ajaran-Nya.

Disinilah terlihat eksistensi manusia yang harus bergerak dan berbaur dengan manusia lain secara bersama dengan mengenakan pakaian ihram secara disiplin. Jika seseorang diam, tidak bergerak, maka pada hakekatnya ia telah mati, bukan manusia yang sesungguhnya. Dalam kebersamaan gerak ini, tak ada konsep "Aku", tak ada "Egoisme pribadi", tak ada konsep "Individualistik”, yang ada hanya konsep "Kita”, atau "Ummah". Konsep "Aku" seketika berubah menjadi "Kita" untuk menghampiri Allah SWT.

Pelaksanaan thawaf bermula dari Hajar Aswad. Disana juga terdapat Hijir Isma'il. Simbol ini mengingatkan kita kembali tentang Hajar istri Ibrahim. Hajar adalah sahaya yang berkulit hitam dari Ethiopia yang diperistri Ibrahim. Karena kecintaannya kepada Allah, Hajar akhirnya menjad nama yang melekat dan sangat berpengaruh dalam rangkaian ibadah haji. Meskipun ia hanya hamba sahaya, bisa jadi dinilai orang hina, lagi berkulit hitam, tetapi dengan iman dan cinta yang dimilikinya mengangkat dirinya menjadi mulia di sisi Allah. Lagi-lagi, simbol ini memberikan pesan moral kepada umat manusia, bahwa sehina apapun seseorang di mata manusia, tetapi dengan keimanan dan kecintaannya kepada Allah SWT akan mengangkat derajatnya menjadi mulia di sisi Allah, bahkan di mata manusia sesudahnya. Maka jangan mudah merendahkan, menghina maupun memperolok saudara sendiri.

Thawaf dilakukan sebanyak tujuh kali putraran. Angka tujuh ini mengi­ngatkan kita kepada tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Artinya, manusia adalah wakil Allah di muka bumi (khalifah fi ardhi), yang bertanggung jawab mengelola alam semesta ini, memanfaatkan semua potensi yang ada, tetapi bukan mengeksploitasinya.

Sa'i antara Safa dan Marwa

Sa'i merupakan sebuah pencarian. lbadah ini memiliki nilai historis tersendiri, dimana Hajar yang terlantar dan terbuang di antara hamparan padang pasir, tanpa pepohonan dan air sebagai sumber kehidupan. Sementara ia mesti tetap hidup, terlebih lagi ketika melihat buah hatinya Isma'il. Seketika ia letakkan anaknya dan ia pun berlari-lari dari bukit safa hingga marwa secara berulang-ulang untuk mencari sumber kehidupan, yaitu Air. Usaha yang dilandasi cinta kepada Allah itu tidaklah sia-sia. Ketika ia melihat anaknya yang menghentak-hentakkan tumitnya ke bumi, memancar air suci sebagai sumber kehidupan yang selanjutnya menjadi telaga zam-zam.

Sa'i adalah lambang perjuangan fisik, perjuangan mencari hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari alam. Jika pada thawaf, lebih melambangkan gerak atas kecintaan manusia kepada al-Khaliq, bersifat spritual. Sebaliknya pada sa'i lebih melambangkan gerak atas upayanya dalam memenuhi kebutuhan hidup secara materi. Pada thawaf yang menjadi inti adalah "Dia" dan hanya Allah. Sedangkan pada Sa'i yang menjadi intinya adalah "manusia" itu sendid. Manusia sendiri yang me­nentukan nasibnya di muka bumi ini (QS. Ar-Ra'd: 13). Disini tampak bahwa Islam menuntun manusia untuk mencari dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat secara seimbang (QS Al-Qashashas: 77). Manusia tidak boleh fatalis, pesimis dan menyerah kepada "nasib". Tapi sa'i mengajarkan manusia untuk berjuang, berijtihad memiliki semangat, vitalitas dan optimisme.

Sa'i dilakukan juga tujuh kali yang dimulai dan safa dan berakhir di marwa; bukan di safa lagi. ini menunjukkan, manusia dalam geraknya mesti tetap maju ke depan. Gerak (dinamis) ke depan secara bersama ini akan mengantarkannya kepada "Khaira Ummah", Islam mesti menjadi umat terbaik di muka bumi ini dalam mengu­sung peradaban, mensejahterakan alam.

Ali Shari'ati menyebutkan: Thawaf adalah lambang hidup bukan demi hidup itu sendiri tetapi demi Allah. Sedangkan Sa'i melambangkan berdaya-upaya sebisa-bisanya bukan untuk diri sendiri tetapi untuk semua manusia. Jalan yang engkau tempuh adalah jalan yang lurus dan tidak merupakan lingkaran. Engkau tidak bergerak secara berputar-putar tetapi engkau bergerak maju.

Arafah, Masyri' dan Mina

Setelah melaksanakan thawaf dan sa'i, jemaah haji mesti bergerak ke timur menuju arafah, lalu masy'ar dan mina. Arafah melambangkan awal penciptaan manusia. Di padang inilah Allah mempertemukan Adam dan Hawa setelah masa pembuangan atas dosa yang mereka lakukan. Arafah artinya pengetahuan dan sains. Masy'ar artinya kesadaran dan pengertian, sedangkan mina artinya cinta dan keyakinan.

Di padang arafah ini mereka wukuf, yang melambangkan pencarian pengetahuan pemahaman, dimana Adam dan Hawa bertemu dan saling mengetahui antara keduanya. Ketika membuka mata dan mendapatkan dirinya dalam keadaan telanjang Adam sudar berada di dalam kedaan dimana ia "mengetahui" dirinya sendiri.

Setelah wukuf di terik mentari di Padang Arafah, jamaah pun bergerak menuju Masy'ar, negeri kesadaran. Disini manusia merenungi dirinya, sehingga muncul kesadaran tentang dirinya, didasari dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Di siang harinya, merekapun menuju Mina, sebagai negeri "cinta", cinta dan keyakinan akan adanya Allah SWTT di tempat mi, mereka melontar jumrah. Pelemparan jumrah melambangkan peperangan terhadap syeitan, di mana syetan telah menggoda Ibrahim untuk menghalangi cintanya kepada Allah yang akan mengorbankan Isma'il.

Syetan adalah musuh manusia yang nyata. Syetan adalah segala hal yang dapat mengahalangi manusia untuk mendekatkan diri dan menjalin cinta kepada Yang Maha Pecinta, Allah SWT. Maka manusia mesti berjihad, berjuang, bertempur melawan syetan dengan segenap upaya dan daya atas nama cinta.

Qurban

lbadah yang juga dilakukan dalam haji ini adalah qurban. Qurban juga lambang kecintaan seorang hamba kepada Allah. lbadah ini kembali mengingatkan kita kepada ujian Allah kepada Ibrahim untuk mengorbankan putranya Isma'il. Namun dengan pendidikan tauhid yang telah dibina lbrahimn dalam keluarganya, tak satupun anggota keluarga yang sakinah itu memberontak keputusan Ibrahim yang berdasarkan wahyu Tuhan itu. Ibrahim justru berdiaolog dengan putranya, dan sang anak pun menga­takan "Ya Abati if'al ma tu'mar, satajiduni Insya Allahu minasshabirin", (Hai Ayahku! Laksanakanlah perintah Allah itu, insya allah ayah akan menemukan aku dalam kesabaran). Ibrahim pun dengan yakin dan kecintaannya kepada Allah melaksanakan perintah itu.

lbadah ini juga memesankan kepada manusia untuk rela mengor­-bankan segala apa yang telah dititipkan Allah, apakah berupa harta, jabatan, nama, dan sebagainya. Dimata ibrahim yang paling ia cintai adalah putranya isma'il atau Allah, Ibrahim memilih Allah, lalu bagaimana dengan kita? Siapa Isma'il kita? Dan ketika dihadapkan kepada kita antara "Isma'ih dengan Allah, siapakah yang akan dipilih?

Demikianlah sedikit penafsiran dari simbol-simbol yang ada dalam rangkaian ibadah haji tersebut. Masih banyak lagi simbol-simbol yang tidak memungkinkan untuk dimuat dalam bahasan yang singkat ini. Dengan pemikiran yang jernih, insya allah kita akan menemukan pesan-pesan moral yang terkandung di seluruh perintah Allah SWT. Meskipun di antara kita belum menunaikan ibadah haji, tetapi pesan-pesan itu berlaku untuk semua hamba-Nya. Pesan itu perlu kita hayati sehingga berdampak positif kepada kehidupan kita di alam yang fana ini. Semoga saja.